DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Sklerosis
sistemik (Skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak
diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ
visceral serta kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini berhubungan dengan
adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama anti-sentromer dan anti
sklero-70 (anti-Scl-70)1. Spektrum penyakit ini cukup luas,
mulai dari kelainan yang disertai penebalan kulit yang luas dan berat,
atau hanya penebalan kulit pada ekstremitas distal dan muka atau tanpa
kelainan kulit sama sekali.2
Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio
pada tahun 1753 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17
tahun. Hubungan skleroderma dengan fenomena Raynaud, pertama kali
dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun 1865. kemudian pada tahun-tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1964, Goetz mengusulkan istilah Progressive Systemic Sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas, baik di kulit maupun di organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer mendiskripsikan salah satu varian dari skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut CREST Syndrome (calcinosis, Raynaud’s phenomenon, esophageal dysmotility, skerodactily, teleangiectasis). 3
Prevalensi
penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan,
apalagi kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada
masyarakat umum di Carolina Selatan mendapatkan prevalensi sebesar 19 –
75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki
2,9 – 4 : 1. pada penelitian di Tennessee, ternyata jumlah penderita
skleroderma pada wanita usia reproduksi (20 – 44
tahun) 15 kali jumlah penderita laki-laki pada usia yang sama, sedangkan
pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekwensinya hanya 1,8 kali
penderita laki-laki pada usia yang sama. 1,2,3
Hubungan
penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun penderita skleroderma
pada kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu
beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya
skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon. Beberapa bahan
kimia seperti vinil-klorida, epoksi-resin dan trikoroetilen serta
obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan, juga
diketahui berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik. Pemaparan
terhadap vinil-klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya
skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akro-osteolisis dan fibrosis
paru. Sedangkan pemakaian bleomesin pada kanker testis, terutama bila
dikombinasi dengan sis-platinum, ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru. 1,2,4
GAMBARAN PATOLOGI
Fibrosis
pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan
gambaran patologik yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik.
Peningkatan matriks ekstraseluler pada dermis, terutama kolagen I dan
III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnya rate pegs
merupakan gambaran patologik yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini
menyebabkan penebalan kulit yang khas pada skleroderma. Pada stadium
awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama
limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini, banyak ditemukan mengelilingi
pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik), kulit relatif
aseluler. 5
Lesi
vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada
organ lainnya. Tunika intima arteri dan arteriol tampak berproliferasi
sehingga lumen menjadi sempit. Dengan tehnik nailfold capilaroscopy,
akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama makin
banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperlasia tunika intima,
sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi. 5
Pada
paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru
dan kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan,
tetapi pada wanita dengan skleroderma yang terbatas sering hanya
didapatkan kelainan pembuluh darah paru yaitu penebalan tunika media,
sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang
dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.
Stadium
awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik, merupakan reaksi radang
akut yang ditandai oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang
polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro, ternyata makrofag alveolar
penderita sklerosis sitemik memproduksi fibronektin dalam jumlah yang
banyak yang berperan dalam pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut,
tampak deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di ruang
interstitial alveolar sehingga pada akhirnya akan tampak jaringan
fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya proses difusi di dalam paru-paru akan terhambat. 5,6
Pada
jantung, sklerosis sitemik dapat menyerang perikardium dan miokardium.
Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan
perikardium parietal dan viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi
perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima
dan penyempitan pembuluh darah koroner. Disekeliling pembuluh darah
koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul
vasospasme dan infark miokard. 5,7
Pada
saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster,
usus halus proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologi,
tampak gambaran fibrosis pada tunika propia dan submukosa, serta
peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrisis maka
peristaltik usus akan berkurang. Akibat fibrosis, atropi lapisan otot
dan berkurangnya peristaltik, akan timbul divertikel di kolon dengan mulut yang lebar. Pada esofagus dapat timbul Barrett’s esophagus (gastrikasi esofagus distal). Walaupun demikian, insiden adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah. 5,7,8
Pada
ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima,
penipisan tunika media dan redupikasi lamina elastika. Membran basal
glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada tanda-tanda
glomerulonefritis. Gambaran skerotik pada glomeruli, merupakan tanda
khas infark korteks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis
sistemik yang disertai kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis
mikroangiopatik akibat kerusakan fisik eritrosit yang beredar pada
gangguan sirkulasi renal yang berat. 8
Pada
otot rangka, akan tampak jaringan fibrosa perivaskuler yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot dan peningkatan enzim otot dalam serum yang
ringan. Selain itu dapat juga terjadi kelainan seperti yang tampak pada
poli dan dermatomiositis yaitu infiltrasi limfosit perivaskuler,
nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinik akan
tampak kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang
bermakna. Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon,
sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat timbul kontraktur
fleksi, terutama pada jari-jari. 5
GAMBARAN IMUNOPATOLOGI
Berbagai
kelainan imunitas humoral dan seluler, tampak terjadi pada penderita
sklerosis sistemik. Pada umumnya kelainan imunitas ini menggambarkan
proses autoimun yang sedang terjadi yang menghasilkan berbagai
autoantibodi terhadap berbagai sel dan konstituen jaringan.
Beberapa
kelainan serologik yang nonspesifik adalah ditemukannya
hipergammaglobulinemia poliklonal, krioglobulinemia, faktor rheumatoid
dan uji VRDL yang positif palsu. 9
Pada 95% penderita sklerosis sitemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodi, ANA).
ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (Anti-topoisomerase I,
anti-Sel-70) didapatkan pada 20-30% penderita, dan separuhnya terdapat
pada penderita sklerosis sistemik difus. Enzim DNA topoisomerase I
sangat penting peranannya pada proses pembukaan gulungan DNA untuk
replikasi dan transkripsi RNA. 5,9-13
ANA
spesifik yang lain adalah anti DNA-histone-complex yang banyak
ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan fibrosis paru, anti
Ku yang banyak ditemukan pada penderita sklerosis sistemik dengan
miopati inflamasi, anti PM-Sel yang banyak ditemukan pada penderita
sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal, anti
RNA-polimerase I, II dan III yang banyak ditemukan pada kelainan ginjal,
anti U3-RNP yang berhubungan dengan kelainan jantung dan paru-paru,
anti U1-RNP yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi pulmonal dan
ANA spesifik lainnya (table 1). 10,14,15,16
Autoantibodi
lain yang sering ditemukan adalah antibodi antisentromer yang terdapat
pada 30% penderita sklerosis sistemik yang terbatas dan CREST Syndrome.
Ada 3 antigen sentromer yang spesifik pada penderita sklerosis sistemik
yaitu CENP-A (17/19 kDa protein), CENP-B (80 kDa protein) dan CENP-C
(120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer
menunjukkan tingginya pemecahan kromosom. 5,10,13
Autoantibodi lain yang sering ditemukan pada CREST Syndrome adalah antibodi anti-mitokondrial yang merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer. 9
Antibodi
lain terhadap self-protein adalah antibodi anti-kolagen tipe I,III,IV
dan VI. Antibodi anti-kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya
kelainan paru pada sklerosis sistemik. Selain itu juga dapat ditemukan Circulating Imune Complex (CIC) yang berhubungan dengan perjalanaan penyakit yang lama. 5
Sedangkan penelitian Endo dan kawan-kawan mendapatkan adanya antineutrophilic cytoplasmic antibodies (ANCA), yang berhubungan dengan gagal ginjal dan perdarahan paru. 16
Sampai
saat ini belum diketahui apa dan bagaimana peranan antibodi terhadap
material inti sel pada patogenesis sklerosis sistemik. Salah satu dugaan
adalah bahwa ANA turut berperan pada perusakan sel endotelial. 5
Selain kelainan imunitas humoral, juga terjadi kelainan imunitas seluler pada sklerosis sistemik. Secara umum
didapatkam limfopenia dengan rasio sel T dan sel B yang normal, tetapi
didapatkan peningkatan rasio sel T penolong (T-4) terhadap sel T penekan
(T-8+). Selain itu juga terdapat penurunan kadar sel NK (Natural Killer) yang pada permukaannya terdapat antigen T-8+.
Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis
penderita sklerosis sistemik dan pada umumnya sel T penolong yang
teraktivasi. Sel T berperan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yang dapat
merubah sel NK menjadi sel LAK (Lymphocite-activated killer) yang ternyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel T juga berperan pada Graft-versus-host disease
(GVHD) pada penderita yang menjalani transplantasi sumsum tulang.
Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal
(terutama pada jari) dan kelainan vaskuler. 5,9,17
Tabel 1 : Kelainan imunitas humoral pada penderita sklerosis sistemik 9
Abnormalitas humoral
|
Persentase
|
Hipergamaglobulinemia poliklonal
Faktor rheumatoid
Antibodi antinuklear (ANA)
Anti DNA-topoisomerase I (Anti-Sel-70)
Anti DNA-histone-complex
Anti nukleolar 7,2-RNP (anti Th-RNP & anti To-RNP)
Anti U3-RNP-associated fibrillarin
Anti U-1 RNP
Anti RNA-polymerase I,II,III
Anti Ku
Anti PM-Sel (PM-1)
Anti SS-A (Ro) dan SS-B (La)
Anti Sel-4
Anti Sel-6
Antibodi antisentromer
Antibodi antimitokondrial
Antibodi antikardiolipin
Antibodi anti-kolagen tipe I
Antibodi anti-kolagen tipe IV
Circulating immune cimplex (CIC)
|
30%
30 – 50%
95 %
5%
5%
25%
86%
44%
55%
|
Fagosit
mononuklear juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam
patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini
memproduksi berbagai sitokin seperti transforming growth factor-B (TGF-B), platelet-derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis sklerosis sistemik. 5,9
Sel
lain yang banyak ditemukan di dalam dermis penderita sklerosis sistemik
adalah sel mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator
seperti triptase yang dapat merusak sel endotel, serta histamin yang
dapat merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan
menyebabkan retraksi sel endotel. 9
Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada penderita sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL – 1, IL – 2, PDGF, TGF-B, Connective-tissue activating peptidase (CTAP), endotelin dan interferon-gamma (IFN-g). 5,18
Tabel 2 : Berbagai sitokin yang berperan pada penderita sklerosis sistemik 5
Jenis Sitokin
|
S u m b e r
|
Peranannya pada patogenesis
|
Fibronektin
|
Fibroblas, sel endotel, makrofag, hepatosit
|
Kemoatraktan monosit & fibroblas, mitogen fibroblas
|
IL-1
|
Makrofag, sel endotel, limfosit, fibroblas, sel epitel, osteosit, osteoblas, keratinosit
|
Mitogen fibroblas, merangsang sintesis kolagen
|
IL-2
|
Sel T
|
Mengaktifkan sel NK menjadi sel LAK
|
PDGF
|
Trombosit, fibroblas, makrofag
|
Mitogen fibroblas
|
TGF-B
|
Megakariosit, makrofag, sel epidermal, fibroblas dan sel T
|
Merangsang
sintesis kolagen, merangsang sintesis fibronektin, menghambat
pertumbuhan sel endotel, mitogen fibroblas indirek, kemoatraktan
fibroblas & monosit merangsang sekresi IL-1
|
CATP
|
CATP I : limfosit
CATP III : trombosit
CATP V : sel mesenkimal
|
Mitogen fibroblas, meningkatkan sintesis glikosaminoglikan
|
TNF
|
Makrofag, sel T, sel B, sel NK
|
Merusak endotel
|
Endotelin
|
Sel endotel
|
Vasokonstriktor
|
IFN-g
|
Sel T, sel NK
|
Aktifator makrofag, diferensiasi sel T menjadi sel T sitolitik, pertumbuhan sel B
|
FAKTOR GENETIK
Faktor
keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin,
dimana didapatkan rasio jenis kelamin wanita dan pria berkisar antara 2 :
1 sampai 20 : 1. walaupun demikian peranan hormon sex pada patogenesis
penyakit ini tidak diketahui. 19
Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC (Major Histocompability Complex)
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara satu peneliti dengan
peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya
dengan HLA-A1, B8, DR3 dengan DR5 dan dengan DRw52, sedangkan
penelitian di Amerika Serikat tidak menunjukkan hubungannya dengan
HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya dengan HLA-Bw52,
DR2 dan DR4. 4,12,19,20
Gen
lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah
alel C4-null (C4 AQO dan C4 BQO). C4 AQO dikatakan banyak terdapat pada
penderita sklerosis sistemik yang mengidap gen HLA-DR3. 19
Faktor
genetik lain yang tampak pada penderita sklerosis sistemik adalah
instabilitas kromosom dimana terdapat peningkatan pemecahan kromosom. 19
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa frekwensi autoantibodi pada berbagai grup
etnik ternyata berbeda. Antibody anti sentromer banyak terdapat pada
orang berkulit putih di Amerika dan tidak pernah pada orang berkulit
hitam. Antibodi anti U1-RNP, anti RNA polimerase I, II, III dan anti
U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih dan kulit
hitam. 21
PATOGENESIS
Secara
pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga sesuatu
faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan
sistem imun dan menimbulkan kerusakan-kerusakan sel endotelial.
Kerusakan sel endotelial akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit
mengeluarkan berbagai mediator seperti PDGF, TGF-B dan CATP-III yang
akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh
fibroblas. Aktivasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi
fibroblas dan sintesis matriks. 5
Secara skematis, patogenesis sklerosis sistemik dapat digambarkan seperti pada gambar 1.
FENOMENA RAYNAUD & KELAINAN VASKULER
Fenomena
Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (polar, sianosis, eritema)
yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau
stress emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya terjadi pada
jari tangan, tetapi dapat juga mengenai ibu jari kaki, daun telinga,
hidung dan lidah. Pada fase polar dan sianosis, penderita akan merasa
nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis, penderita akan merasa
seperti terbakar. 3
Fenomena Raynaud dapat dijumpai pada beberapa penyakit kolagen yaitu 95% pada penderita sklerosis sistemik, 91% pada penderita Mixed Connective Tissue Diseases
(MCTD) dan 40% pada penderita lupus eritematosus sistemik. Selain itu,
fenomena Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai trauma akibat
perkerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klorida), efek samping obat
(penghambat reseptor-beta), kelainan onkologik dan hematologik
(disglobulinemia, kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik)
dan hipotiroidisme. Populasi fenomena Raynaud pada populasi umum tidak
diketahui dengan pasti, diperkirakan sekitar 10 – 20 %. Fenomena Raynaud
pada penyakit kolagen terutama pada sklerosis sistemik umumnya
berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut
timbul, sehingga kadang-kadang sulit membedakannya dengan fenomena
Raynaud primer yang tak diketahui penyebabnya. 3,22,24
Table : 3 Perbedaan Fenomena Raynaud Primer dengan Fenomena Raynaud
pada Sklerosis Sistemik.23
|
Fenomena Raynaud Primer
|
Sclerosis Sistemik
|
· Perempuan : Laki-laki
· Umur mula timbul
· Frekwensi serangan perhari
· Faktor pencetus
· Proliferasi intimal
· Antibodi antinuclear
· Antibodi antisentromer
· Antibodi anti-Sel-70
· Kapilaroskopi abnormal
· Aktifasi trombosit in vivo
|
20 : 1
Pubertas
Ø 10 x
Dingin, emosi
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
|
4 : 1
Ø 24 tahun
Ø 5 x
Dingin
Positif
90 – 95%
50 – 60%
20 – 30%
Ø 95%
Ø 75%
|
Fenomena
Raynaud merupakan gejala awal dari 70% penderita sklerosis sistemik.
Sebagian kecil (5%) dari penderita sklerosis sistemik yang tidak
mengalami fenomena Raynaud umumnya laki-laki dan mempunyai prognosis
yang buruk karena risiko yang tinggi untuk mendapatkan kelainan ginjal
dan miokardial. 23,24
Berbagi
faktor turut-turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada
sklerosis sistemik. Sel endothelial yang rusak akan mengaktifkan
trombosit. Trombosit yang diaktifkan akan menghasilkan vasokonstriktor,
seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-Az (Tx-Az) dan
ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endothelial yang masih utuh akan
menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin, Monoamineoxidase (MAO) dan endothelium-dependent relaxation factor
(EDRF). Tetapi sel endothelial yang rusak tidak dapat bereaksi terhadap
vasodilator tersebut. Selain itu sel endothelial yang rusak juga
menghasilkan vasokonstriktor endothelin-1. akibatnya akan terjadi
vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya
hiperplasi intima. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terjadi
gangguan deformabilitas eritrosit, sehingga vasokonstriksi darah akan
meningkat dan oklusi pembuluh darah akan makin berat. 3
Beratnya
fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik ditandai dengan timbulnya
iskemi jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren. 2
Gambaran
fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriol
pada organ viseral, sehingga timbul berbagi kelainan pada organ
tersebut. Perubahan yang terjadi pada mikrosirkulasi meliputi timbulnya
celah diantara sel endotel, vakuolisasi dan pembengkakan sel endotel,
nekrosis seluler, duplikasi lamina basalis dan infiltrasi seluler
perivaskuler oleh limfosit, plasmosit dan makrofag. Kelainan vaskuler
ini menyebabkan penderita sklerosis sistemik sangat rentan terhadap
perubahan hemodinamika, dimana hipovolemi ringan dapat mencetuskan
krisis renal, sedangkan hipervolemia akan mencetuskan edema pulmonal. 3,23
Kerusakan
vaskuler pada sklerosis sistemik akan menyebabkan peningkatan kadar
berbagai petanda seperti faktor von Willebrand, trombomodulin, ICAM – 1 (interleukin adhesion malecule – 1) serum dan ELAM – 1 (endhotelial leucocyte adhesion molecule – 1)
serum. Peningkatan kadar faktor van Willebrand berhubungan dengan
progesifitas fenomena Raynaud, keterlibatan banyak organ dan tingginya
angka mortalitas. 23
Pada
sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena
kerusakan sel endotel menyebabkan penurunan sintesis aktivator
plasminogen dan berbagai faktor pro dan antikoagulan. 23
Secara non-invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku. 22
KELAINAN KULIT
Pada
tahap awal akan tampak edema pada tangan dan jari tangan yang tidak
disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat disertai timbulnya sindrom
terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) akibat kompresi nervus
medinus. Edema ini berhubungan dengan deposisi glikosaminoglikan di
dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan vaskuler.
Beberapa
minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan
indurasi sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan
mengenai jari tangan dan bagian yang lebih proksimal yaitu dorsum manus,
lengan atas, muka dan akhirnya ke seluruh tubuh. Kelainan ini
patognomonis untuk sklerosis sistemik karena hampir tidak pernah
ditemukan pada penyakit lain. Umunya kelainan pada bagian distal tubuh
lebih berat daripada di bagian proksimal tubuh. Bersamaan dengan
kelainan tersebut, lipatan kelainan tersebut lipatan kulit akan
menghilang, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan
hiperpigmentasi.
Pada
sklerosis sitemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh
tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen sedangkan pada kelainan
yang terbatas pada kulit akan didapatkan pada jari atau jari dan muka.
Pada sebagian kecil penderita (2%), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (Sklerosis sistemik sine skleroderma).
Pada
fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat
kolagen pada dermis, hiperplasi dan hialinisasi subintimal arteriol, dan
infiltrasi limfosit, terutama sel T.
Kulit
yang menebal makin lama akan makin menebal. Tetapi kadang-kadang akan
terjadi pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral.
Jadi kulit yang mengeras terakhir akan membaik lebih dahulu.
Beberapa
tahun kemudian, akan tampak bintik-bintik teleangiektasi, terutama pada
muka, jari, lidah dan bibir. Teleangiektasis terutama terjadi pada
subtipe yang terbatas (CREST Syndrome), tetapi dapat juga terjadi
pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas, juga dapat timbul
kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil,
tetapi dapat juga berupa masa yang besar.
Pada
stadium akhir, akan timbul atropi dan penipisan kulit terutama pada
bagian ekstensor sendi yang kontraktur, sehingga dapat terjadi ulserasi
akibat tarikan mekanik pada bagian itu. 3,7
KELAINAN SISTEMIK
Berbagai
kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang umumnya
terjadi akibat kelainan vaskuler pada organ yang bersangkutan.
Pada
paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskuler paru.
Fibrosis paru umumnya terjadi pada kedua basl paru yang dapat dilihat
jelas pada gambaran radiologik toraks. Keadaan ini akan menyebabkan
penurunan kapasitas difusi karbon monoksida dan pada akhirnya akan
terjadi penurunan kapasitas vital (penyakit paru restriktif). Pada
bilasan bronkoalveolar, akan ditemukan banyak sel radang terutama
limfosit dan makrofag. Kelainan paru umumnya lebih berat pada penderita
dengan antibodi antitopoisomerase – 1 dan anti U3 – RNP yang positif dan
lebih ringan pada penderita dengan antibodi antisentromer yang positif.
6,16
Hipertensi
pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil penderita, terutama pada
subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif.
Untuk
mencegah perburukan fungsi, maka deteksi dini kelainan paru pada
sklerosis sistemik harus dilakukan. Umumnya kelainan paru tidak
memberikan gejala yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan
hemodinamika atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu
dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3 – 6 bulan
sekali) dan bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru, dilakukan
tomografi dengan komputer (CT – Scan) dan bilasan bronkoalveolar. 16
Kelainan
pada sistem gastrointestinal, dapat mengenai esofagus bagian distal dan
saluran cerna yang lebih bawah. Pada esofagus distal akan terjadi
dismotalitas motorik sehingga timbul disfagia dan refluks
gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan
flouroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi
metaplasi mukosa (metaplasi Barret) yang merupakan predisposisi
timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi keganasan ini jarang terjadi
pada sklerosis sistemik. Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas dan
berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan
mukosa dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke dinding usus
sehingga timbul pnematosis intestinalis yang akan tampak pada gambaran
radiologik. Pada kolon juga dapat terjadi atropi lapisan otot sehingga
mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk
sklerosis sistemik. Hipomotalitas kolon akan menyebabkan konstipasi dan
pada beberapa keadaan dapat terjadi atropi otot sfingter ani yang
mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti. 3,7,8,16
Kelainan
miokardial, jarang didapatkan pada sklerosis sistemik tetapi bila
didapatkan akan meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi
fibrosis pada sistem konduksi jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya
aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan oragan lain,
kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis
sistemik. Kadang-kadang dapat timbul perikarditis yang ditandai dengan
penebalan perikardium parietal dan viseral yang berakhir
dengan perikarditis konstriktif. Selain itu dapat juga terjadi gangguan
fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal. 3,25
Pada
ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma
akibat hiperreninemia yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang
tiba-tiba, insufisiensi renal yang progesif dan hemolisis
mikroangiopatik. Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang difus
dan sangat jarang terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal
merupakan penyebab kematian yang utama pada sklerosis sistemik. Penyebab
uatama kelainan ginjal adalah kelainan vasuker, terutama pada arteri
arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut terjadi
hiperplasi mukoid subintimal yang akan berkembang menjadi nekrosis
fibrinoid. 3,16,26
Pada
persendian, dapat timbul poliartralgia terutama pada subtipe yang
difus. Secara radiologik akan tampak gambaran atropati erosive. Pada
falang distal, dista radius dan ulna, ramus mandibula dan permukaan
superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi
sehingga terjadi resopsi tulang pada tempat tersebut. 3,7
Pada
otot, dapat terjadi atropi akibat keterbatasan pengunaan sendi. Miopati
yang lain juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot,
terutama otot proksimal dan peningkatan kadar ezim otot serum
(keratin-kinase dan aldolase). Secara histologik akan tampak serat
miofibril yang mengalami fibrosis. 3,7
Xerostomia
ditemukan pada 20 – 30 % penderita sklerosis sistemik dan hal ini
berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar
liur. Separuh dari penderita xerostomia memiliki antibodi terhada
presipitin syogren yaitu SS-A (Ro) dan anti SS-B (La). 7,16
Tiroiditis
Hashimoto dan fibrosis tiroid juga dapat ditemukan pada sklerosis
sistemik dan hal ini akan menyebabkan hipotiriodisme. 7
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Diagnosis
sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang. Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis
sklerosis sistemik sebelum timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi
kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan gambaran
fenomena Raynaud pada wanita umur 20 – 50 tahun. Pemeriksaan
autoantibodi anti topoisomerase-1 dan anti sentromer harus dilakukan
karena memiliki spesifitas yang baik pada sklerosis sistemik. Evaluasi
terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila
keadaan meragukan, dapat dilakukan biopsy kulit. 27
Pada tahun 1980, Amerikan Rheumatism Association (ARA) menganjurkan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresit. 27
Kriteria ini terdiri atas :
- Kriteria mayor :
Skleroderma
proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetris
pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal
atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)
- Kriteria minor :
- Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari.
- Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jarinagan jari tersebut akibat iskemia.
- Fibrosis basal di kedua paru. Gambaran linier atau lineonoduler yang retikuler terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto toraks standard. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor .
Secara klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu :
- Sklerosis sistemik difus, dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.
- Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST Syndrome (C=kalsinosis subkutan, R=fenomena Raynaud, E=dismotilitas esophagus, S=sklerodaktili, T= teleangiektasis).
- Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan oragan dan gambaran serologik yang khas untuk sklerosis sistemik.
- Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, yaitu bila didapatkan kriteria yang lengkap untuk sklerosis sistemik bersamaan dengan kriteria lengkap untuk lupus eritrematosus sistemik, arthritis rheumatoid atau penyakit otot inflamasi.
- Penyakit jarinagn ikat yang tidak terdiferensiasi, yaitu bila didapatkan fenomena Raynaud dengan gambaran klinis dan/atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.
Table 4. Perbedaan antara sklerosis sistemik terbatas dan sklerosis sistemik difus 3
Sklerosis sistemik terbatas
| Sklerosis sistemik difus |
Fenomena Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Pembengkakan jari, intermiten dalam jangka waktu yang lama.
Progesifitas lambat.
Dapat disertai artralgia ringan, jarang mengenai tendon.
Problem utama : ulkus jari, fibrosis esofagus, usus halus dan paru.
10% disertai hipertensi pulmonal dan fatal.
Antisentromer pada 50 – 90% kasus: Anti-topi-1 pada 10 – 15% kasus.
|
Fenomena
Raynaud berlangsung dalam jangka waktu yang singkat; kelainan kulit
timbul sebelum terjadi kelainan fenomena Raynaud.
Pembengkakan tangan dan kaki.
Progesifitas cepat.
Disertai artralgia/artritis, sindrom terowongan karpal.
Semua organ viseral dapat terkena.
Jarang disertai hipertensi pulmonal.
Antisentromer pada 5% kasus: Anti-topi-1 pada 20 – 30% kasus.
|
Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik. Keadaan
ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dengan sklerosis
sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah morfea,
skleroderma linier dan skleroderma en, coup de sabre. 27
Morfea
adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian
tubuh mana saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.
Skleroderma
linier, umumnya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan
skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai
atropi otot dan tulang dibawahnya.
Skleroderma
en coup de sabre, merupakan varian skleroderma linier, dimana garis
yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan
terhadap Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan
psikososial, pemberian golongan obat remitik dan terapi terhadap organ
spesifik.
Penyuluhan
dan dukungan psikologik memegang peranan yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita sklerosis sistemik, karena perjalanana
penyakit ini lama dan progresif.
Berbagai
obat golongan remitif yang dapat diberikan pada penderita Sklerosis
Sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obat imunosupresif dan
sebagainya, tetapi hasilnya masih belum menggembirakan.
Fenomena
Raynaud, merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik.
Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga tetap dalam keadaan
hangat, biasanya cukup efektif untuk mengatasi fenomena Raynaud yang
ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, misalnya bila disertai ulkus
pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari, maka dapat
dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin atau
nitrogliserin topical. Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan
hasil yang baik dan efek hipotensif yang tidak terlalu besar. 28
Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki perfusi miokard pada penderita sklerosis sistemik.29 Obat
lain yang dapat dicoba untuk mengatasi fenomena Raynaud adalah
Iloprost, suatu analog prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan
dosis 3 mg/KgBB/menit, 5 – 8 jam/hari selama 3
hari berturut-turut. Selain untuk mengatasi fenomena Raynaud, obat ini
juga dapat digunakan untuk mengatasi ulkus pada jari.30
Perawatan
kulit sangat penting diperhatikan, apalagi bila sudah timbul ulkus.
Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan bila ada infeksi skunder.
Bila luka cukup dalam, mungkin dibutuhkan perawatan secara bedah,
nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.26
D-penisilamin,
menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengatasi kelainan kulit pada
sklerosis sistemik, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu
yang cukup lama.31
Secara
in vitro, Interferon-gamma dapat menghambat proliferasi fibroblas dan
produksi kolagen. Pada beberapa kasus, obat ini dapat mengurangi
kekakuan kulit, tetapi tidak efektif terhadap fenomena Raynaud.28
Obat
lain yang dapat mempengaruhi transport prokolagen dan sekresi
prokolagen oleh fibroblas adalah kolkisin. Tetapi masih harus diteliti
efektifitasnya pada penggunaan jangka panjang.30 Demikian
juga penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast:
N-Asetil-sistein, suatu perangsang pemecahan kolagen, fotofaresis dan
globulin antitimosit masih perlu diteliti efektifitasnya.30,31
Artralgia/arthritis
dan tenosinovitis biasanya dapat diatasi dengan pemberian anti
inflamasi non steroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat dipertimbangkan
pemberian injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam
jangka waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang agresif harus
dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.27
Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heart-burn
dan disfagia. Penderita dianjurkan untuk meninggikan kepalanya pada
waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi kecil dan sering.
Biasanya pemberian antasid, antagonis – H2 dan obat sitoprotektif, cukup
efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada
keadaan yang berat, dapat dianjurkan pemberian omeprazol. Obat
prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila terdapat
striktur esophagus, harus dilakukan dilatasi secaraberkala.7,28
Keterlibatan
usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase makanan dan meningkatkan
pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang terakhir dianjurkan untuk
mengunakan antibiotik yang berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk
mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian prokinetik. Bila
terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak feses dan diet tinggi
serat. Bila hipomotilitas usus sangat berat dan timbul distensi abdomen,
penderita harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan dilakukan
dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus dihindari
karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.7,28
Pnemonitis
interstisial merupakan keadaan yang harus segera diatasi. Pemberian
kortikosteriod atau siklofosfamid memberikan hasil yang cukup memuaskan.31,33
Hipertensi
pulmonal tanpa kelainan interstisial paru mempunyai prognosis yang
buruk, karena tidak ada satupun obat yang dapat mengatasi keadaan ini. 6
Krisis
renal dengan hipertensi berat, merupakan komplikasi yang serius dengan
angka kematian yang cukup tinggi. Dengan adanya obat inhibitor enzim
pengkoncersi angiotensin, angka kematian dapat diturunkan secara
drastis.28,30,31
PROGNOSIS
Angka
harapan hidup 5 tahun penderita sklerosis sistemik adalah sekitar 68%.
Harapan hidup akan semakin pendek dengan luasnya kelainan kulit dan
banyaknya keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus,
kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal.
Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena
hipertensi pulmonal dan malabsorbsi.4
Penderita
sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk mendapatkan
keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non Hodgkin.
Hal ini turut meningkatkan angka kematian penderita sklerosis sistemik.4
Satu
hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma esofagus
sangat rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal
(metaplasi Barret). 3,7
Penelitian
Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis
penderita Sklerosis Sistemik adalah usia kanjut ( > 64 tahun),
penurunan fungsi ginjal (BUN <> 14 gr/dl atau kapasitas vital
paksa <>
KESIMPULAN
- Sklerosis sistemik adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskuler.
- Secara patologik, Sklerosis sistemik akan memberi gambaran fibrosis kulit dan organ viseral lainnya disertai proliferasi tunika intima arteri dan arteriol.
- Sklerosis sistemik berhubungan dengan adanya antibodi anti nuklear spesifik, terutama antibodi anti sklero-70 dan antibodi anti sentromer. Faktor genetik pada kelainan ini masih belum jelas, walaupun banyak penelitian yang menghubungkan kelainan ini dengan gen C4 – null.
- Secara klinis, Sklerosis Sistemik memberi gambaran berupa fenomena Raynaud, fibrosis kulit dan manifestasi berbagai organ viseral akibat fibrosis dan kelainan vaskuler pada organ tersebut.
- Untuk diagnosis Sklerosis Sistemik, dapat digunakan criteria ARC untuk Sklerosis Sistemik.
- Penatalaksanaan Sklerosis Sistemik meliputi penyuluhan dan dukungan psikososial, pemberian golongan obat remitif dan terapi terhadap organ spesifik. Ada beberapa golongan obat remitif yang dapat diberikan pada Sklerosis Sistemik, tetapi hasilnya masih kurang menggembirakan.
- Beberapa prediktor prognosis yang buruk adalah usia lanjut, penurunan fungsi ginjal, anemia, penurunan kapasitas difusi CO pada paru, penurunan kadar protein serum total dan penurunan cadangan paru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar